Sekedar untuk berbagi
Usaha ini dimulai pada bulan April tahun 2004, bertempat di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. Berawal dari perbincangan dengan Bapak saya tentang bagaimana cara mengelola uang sisa gaji bulanan dengan baik. Waktu itu saya baru 3 bulan resmi menjadi karyawan kontrak di Jawa Pos Group. Memang ada opsi untuk tetap menyimpan di rekening Bank, tetapi menurut saya lebih baik lagi kalo bisa bermanfaat lebih. Hasil perbincangan dengan bapak benar-benar memberi hasil sempurna, bagaimana tidak, kami satu arah dan saling setuju ketika saya berinisiatif untuk “jualan” dengan pertimbangan dari beliau “jualan sesuatu yang membawa kebaikan”, memang jalan pikiran beliau tidak pernah lepas dari kemaslahatan umat (sejak muda beliau aktif bergabung dengan salah satu ormas Islam, menjadi penggerak masyarakat, dan pernah juga menjabat pemimpin resmi ormas tersebut).
Dan yang kami pilih adalah “jualan Al-Qur’an”. Waktu itu gaji saya 1.200.000 rupiah, memang tidak besar tapi Alhamdulillah sebulan bisa saya sisihkan 600.000 rupiah tanpa harus memaksa untuk berhemat. Mungkin karena saya waktu itu belum menikah dan juga belum tertarik untuk belanja property. Sebenarnya, 2 bulan sebelumnya saya sudah bisa menyisihkan gaji dengan jumlah yang sama, akan tetapi saya masih belum ada inisiatif untuk berjualan jadi saya investasikan dalam bentuk hewan ternak.
Bapak saya punya langganan Al-Qur’an di daerah Ampel tepatnya Jl. Sasak, beliau sering beli untuk madrasah Al-Furqon dan juga Masjid Al-Furqon, jadi saya tidak harus susah payah mencari tempat kulakan (grosir).
Bapak berangkat ke Surabaya keesokan harinya, kebetulan bersamaan dengan jadwal kontrol beliau ke Prof. Puruhito, dan uang 600.000 tersebut cepat-cepat disulap menjadi Al-Qur’an sebanyak 75 eksemplar. Sesampainya di rumah, ibu (almarhumah – barokallahu laha) menyampaikan bahwa uang tersebut sudah dibelanjakan Al-Qur’an. Saya senang sekali waktu itu, sayangnya saya belum bisa sepenuhnya mengendalikan ego saya, rasa gengsi untuk berjualan cukup erat mengikat saya dan mengganggu akselerasi gerak saya, maklumlah namanya juga pemula. Karena saya belum punya tempat sendiri maka Al-Qur’an tersebut saya titipkan di toko bapak saya yang kebetulan saat itu sudah dikelola oleh kakak.
Minggu berjalan, bulan berganti bulan, dengan sabar bapak menunggu keteguhan dan keseriusan saya untuk menjalankan usaha itu. Memang hampir setiap bulan saya terus menambah perbendaharaan dagangan saya, namun perbendaharaan keberanian saya belum bertambah sama sekali. 4 bulan kemudian, dengan terpaksa saya harus menghentikan investasi di Al-Qur’an tersebut karena saya harus ambil kredit untuk beli kendaraan. Sebelumnya saya sangat tergantung pada angkutan umum, sedangkan menurut perhitungan saya, ongkos yang saya keluarkan untuk angkutan umum adalah separuh dari jumlah cicilan kredit sepeda motor sekelas Suzuki Shogun 125 cc. Jadi menurut saya jauh lebih menguntungkan kalo ongkos angkutan umum tersebut saya gunakan untuk bayar kredit dengan menambah sedikit lagi. Stagnan dan tak berkembang, itulah yang terjadi pada dagangan saya sejak saat itu.
Tetapi, dalam hati tetap saya simpan angan-angan untuk punya toko buku sendiri. Tidak muluk-muluk (berlebihan) dengan toko yang besar, yang saya butuhkan saat ini adalah kemandirian dan tidak lagi menumpang di tempat kakak yang mungkin sangat mengganggu operasional usahanya. Beberapa bulan kemudian, gayung bersambut, harapan saya menemui titik terang sewaktu seorang teman ingin buka toko buku juga, karena dia punya akses di Penerbit Erlangga. Dan kebetulan juga ada tempat bekas toko material bangunan yang tidak terpakai lagi dan disewakan. Dan kebetulan beruntun karena itu adalah milik seorang teman yang cukup dekat dengan keluarga saya. Subhanallah… siapa sangka jalannya akan dimudahkan seperti ini?
Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dalam bentuk yang sama, mumpung kali ini saya masih cukup sadar untuk menangkapnya, segera saja saya tindak lanjuti. Waktu itu saya tidak punya tabungan sama sekali, dan penghasilan saya tidak cukup memberi jaminan jika saya mengajukan pinjaman bank, saya juga tak punya barang ataupun property apapun untuk diagunkan, saya hanya punya sebuah sepeda motor yang cicilannya baru terbayar 25%, tentu saja tidak dapat diagunkan juga. Tapi Alhamdulillah waktu itu saya punya keyakinan yang besar akan kuasa Allah, bahwa insya Allah saya bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan waktu itu. Dan… keyakinan itu terjawab keesokan harinya, saya ditelpon oleh marketing credit card Bank Danamon yang menawarkan paket Dream Card yaitu kartu kredit yang bisa dipakai untuk pinjaman cash lewat ATM. Aplikasi credit card saya isi hari itu juga dan dalam satu minggu hari kerja kredit saya disetujui. Limit kredit yang keluar tepat sejumlah yang saya butuhkan untuk bayar sewa toko selama 2.5 tahun (sedangkan yang 2.5 tahun sisanya menjadi tanggungan teman saya). Lengkaplah toko itu saya sewa selama 5 tahun dengan berbagi tempat dengan teman saya.
Langkah selanjutnya adalah “saya butuh merenovasi tempat” tidak perlu bagus, cukup agar tak terlihat kumuh seperti toko material bangunan. Kalo saya lihat, lantai perlu diganti karena sudah banyak berlubang, dinding juga sudah menghitam, atap pada bocor, tembok mulai lapuk. Whaa… ternyata masih perlu beberapa juta rupiah lagi, dari mana saya dapat?, sedangkan gajian masih cukup lama dan hanya sebulan sekali. Saya balik ke surabaya mencoba mencari pinjaman lunak dari teman-teman kost, tapi sayangnya sampai akhir minggu saya tidak mendapat pinjaman. Saya pulang lagi dengan tangan kosong, dan sepertinya saya harus menundanya sampai akhir bulan. Begitu sampai depan toko saya sedikit kaget karena ada beberapa orang yang sedang beraktivitas di dalam toko, saya berhenti dan melihat ke dalam. Kebetulan di dalam ada bapak, belum sempat bertanya bapak lebih dulu bercerita bahwa beliau menyimpan beberapa ratus ribu hasil penjualan Al-Qur’an yang belum sempat diberikan kepada saya. Subhanallah, sekali lagi, jawaban langsung dari Allah untuk semua optimisme saya.
Dengan beberapa ratus ribu itu ternyata masih belum cukup, jadi bulan ini saya harus menambah satu lubang lagi yang lebih sempit untuk ikat pinggang saya. Untungnya, tetangga saya jualan bahan material bangunan yang alhamdulillah bisa dipinjam dulu dan dibayar setelah saya gajian.
Akhir April 2005 toko sudah siap pakai, biarpun waktu itu saya tak punya rak buku sama sekali, bapak tetap bersikeras untuk segera membuka toko buku itu. Di toko yang saya sewa tersebut ada 1 buah almari dengan pintu kaca bekas etalase cat kayu, 1 buah etalase kecil bekas paku, dan 1 buah meja kasir dengan pintu berkunci untuk menyimpan uang. Dan kebetulan di toko kakak ada lemari kaca yang tak terpakai, segera saya pindahkan ke toko saya dengan status “pinjaman”, whaaa… semuanya barang pinjaman hehehe. Akan tetapi tempat yang berukuran 5x6 tersebut tampak kosong dengan hanya diisi 2 lemari dengan panjang 2 m, 1 lemari kecil dan sebuah meja. Tapi tak apalah, karena memang ini sudah kondisi maksimal yang bisa saya usahakan untuk saat ini.
Tempat sudah siap, tinggal “apa yang saya perdagangkan?”, saya sudah tak mempunyai uang lebih, sedangkan yang saya pegang hanya cukup untuk makan beberapa hari di surabaya. Al-Qur’an dan beberapa buku bacaan islam dagangan saya sudah tinggal sedikit, tidak cukup banyak untuk memenuhi 1 lemari kecil yang ada di toko. Lagi, sepertinya saya harus menunggu sampai gajian.
Gajian saya tinggal seminggu lagi, toko masih belum saya buka. Bapak dan ibu mulai menanyakan kapan dibuka, saya hanya bisa jawab sekedap maleh (= sebentar lagi). Kali ini saya harus putar otak lagi tentang kemungkinan-kemungkinan terbaik yang bisa saya dapatkan dengan “hampir tanpa modal”, saya katakan demikian karena saya memang tak punya uang sama sekali, tetapi kalo hanya beberapa ratus ribu masih bisa saya usahakan dengan menyisihkan uang gaji saya. Saya mulai mencari siapa saja yang mau menitipkan buku di toko saya dengan system konsinyasi (di awal kuliah saya pernah masuk UKMKI Unair dan berada di divisi pengelola “bursa kafilah”, sedangkan bursa kafilah juga menjual buku dan busana muslim dengan system konsinyasi pula, dari sana saya jadi tahu tentang praktek konsinyasi). Hampir akhir minggu saya belum dapat sedikitpun titik terang, fisik dan mental sudah mulai lelah, pulang kerja sudah tak bergairah. Sesampainya di kost saya buka pagar hendak masuk, tak sengaja di lantai saya lihat ada kertas brosur, dan Subhanallah, brosur itu berisi iklan distributor buku dan VCD islami dan subhanallah lagi tempatnya hanya beberapa gang dari kost saya. Saya tidak berhenti bersyukur, dan saya benar-benar merasa menjadi saksi hidup akan kebesaran-kebesaran Allah. “satu langkah kita mendekati-Nya, 10 langkah Allah mendekati kita”. Keesokan harinya segera saya telpon ke distributor itu, dan ada beberapa syarat kerjasama, diantaranya
1. pembelian dengan nominal diatas satu juta rupiah bisa menjadi sub agen, fasilitas yang diberikan adalah potongan 20% untuk tiap pembelian
2. pembelian dengan nominal diatas 5 juta rupiah untuk bisa menjadi agen, fasilitas yang diberikan adalah potongan 30% untuk tiap pembelian
Tetapi sayangnya tak ada istilah konsinyasi. Ya sudahlah, yang penting saya bisa mengisi toko saya.
Akhir minggu tepatnya hari sabtu gaji saya untuk bulan itu keluar, sepulang kerja saya meluncur ke distributor itu (CMS = Cipta Mandiri Sejahtera), saya beli VCD karya Harun Yahya dan juga beberapa buku bacaan yang nominalnya sampai 1,3 juta rupiah. Habislah gaji saya!. Segera saya bawa pulang barang dagangan saya tersebut dengan perasaan senang dan optimis, bahkan sampai terlupa bahwa dompet saya kemps, mungkin hanya tersisa 100 ribu untuk biaya hidup entah sampai berapa hari.
Sesampainya di toko saya tata serapi mungkin barang dagangan saya. Dan ternyata belum banyak berpengaruh pada isi, masih tetap kosong. Saya masih belum Pe De untuk membuka toko saya. Awal bulan saya balik lagi ke surabaya dan saya pikir saya masih butuh satu bulan lagi untuk buka. Minggu pertama bulan Mei 2005 berlalu, dan saya pulang lagi di akhir minggu, dan lagi… saya cukup terkejut sewaktu lewat depan toko. Toko saya sudah terbuka lebar, memang tampak dari kejauhan masih kosong sama sekali, hanya berisi beberapa lemari kosong dengan seorang bapak yang sudah berumur duduk di dalam toko. Masya Allah, sekali lagi peran bapak begitu besar untuk “mental” saya, mungkin untuk urusan motivasi bukanlah Mario Teguh ataupun Andri Wongso yang paling berperan untuk pembentukan motivasi saya tapi bapaklah yang paling berpengaruh. Beliau memberikan teori-teori motivasi bukan dengan kata-kata tapi langsung dalam bentuk kongkret. Esoknya saya minta tolong sepupu untuk jaga di toko saya dengan kompensasi beberapa ratus ribu rupiah, dan alhamdulillah dia mau.
Begitulah awal pembukaan Pustaka Fithroh yang baru (sewaktu bapak saya masih aktif di tokonya, beliau juga memberi nama Pustaka Fithroh karena beliau selalu menyisipkan buku untuk dijual di toko beliau) ini adalah bentuk reinkarnasi dari Pustaka Fithroh bapak saya.
Bulan berganti bulan saya terus membelanjakan seluruh uang gaji saya untuk menambah koleksi buku di toko saya, dengan ilustrasi seperti ini, total gaji dikurangi kredit sepeda motor dikurangi makan untuk satu minggu pertama dalam bulan berjalan. Setiap akhir minggu saya mengambil uang hasil penjualan di toko untuk kemudian saya bayarkan beberapa rupiah untuk tabungan akhirat dan 100 ribu rupiah untuk operasional saya di surabaya dalam satu minggu, sisanya saya belikan dagangan lagi. Demikian berlangsung sampai berbulan-bulan bahkan sampai melewati hitungan tahun.
Waktu bergulir, saya terus berusaha mengembangkan toko buku itu, saya terus mencari penerbit yang mau menjadi konsinyor untuk toko saya. Dan usaha saya tidak sia-sia, seiring waktu berjalan sudah ada 7 penerbit yang mau mempercayakan bukunya ke toko saya. Memang omzet yang saya tawarkan tak begitu besar karena kesadaran membaca masyarakat sana masih minim, tetapi saya tetap optimis dengan impian saya untuk memiliki toko buku seperti Uranus, Toga Mas, ataupun Gramedia.
Cerita ini hanya untuk berbagi pengalaman, karena orang yang ingin punya usaha sebagian mengalami kesulitan untuk memulainya, baik itu kendala keberanian atau pemasalahan klasik tidak ada modal. Perlu saya tegaskan bahwa modal yang paling berharga dari seorang manusia adalah Kemauan Kuat, Usaha Keras, Optimisme yang wajar, dan Do’a yang Bersungguh-sungguh, adapun modal dan bentuk fisik lainnya adalah hanya kekuatan fisik yang sangat terbatas.
Ikuti perkembangannya di tulisan-tulisan selanjutnya
Usaha ini dimulai pada bulan April tahun 2004, bertempat di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. Berawal dari perbincangan dengan Bapak saya tentang bagaimana cara mengelola uang sisa gaji bulanan dengan baik. Waktu itu saya baru 3 bulan resmi menjadi karyawan kontrak di Jawa Pos Group. Memang ada opsi untuk tetap menyimpan di rekening Bank, tetapi menurut saya lebih baik lagi kalo bisa bermanfaat lebih. Hasil perbincangan dengan bapak benar-benar memberi hasil sempurna, bagaimana tidak, kami satu arah dan saling setuju ketika saya berinisiatif untuk “jualan” dengan pertimbangan dari beliau “jualan sesuatu yang membawa kebaikan”, memang jalan pikiran beliau tidak pernah lepas dari kemaslahatan umat (sejak muda beliau aktif bergabung dengan salah satu ormas Islam, menjadi penggerak masyarakat, dan pernah juga menjabat pemimpin resmi ormas tersebut).
Dan yang kami pilih adalah “jualan Al-Qur’an”. Waktu itu gaji saya 1.200.000 rupiah, memang tidak besar tapi Alhamdulillah sebulan bisa saya sisihkan 600.000 rupiah tanpa harus memaksa untuk berhemat. Mungkin karena saya waktu itu belum menikah dan juga belum tertarik untuk belanja property. Sebenarnya, 2 bulan sebelumnya saya sudah bisa menyisihkan gaji dengan jumlah yang sama, akan tetapi saya masih belum ada inisiatif untuk berjualan jadi saya investasikan dalam bentuk hewan ternak.
Bapak saya punya langganan Al-Qur’an di daerah Ampel tepatnya Jl. Sasak, beliau sering beli untuk madrasah Al-Furqon dan juga Masjid Al-Furqon, jadi saya tidak harus susah payah mencari tempat kulakan (grosir).
Bapak berangkat ke Surabaya keesokan harinya, kebetulan bersamaan dengan jadwal kontrol beliau ke Prof. Puruhito, dan uang 600.000 tersebut cepat-cepat disulap menjadi Al-Qur’an sebanyak 75 eksemplar. Sesampainya di rumah, ibu (almarhumah – barokallahu laha) menyampaikan bahwa uang tersebut sudah dibelanjakan Al-Qur’an. Saya senang sekali waktu itu, sayangnya saya belum bisa sepenuhnya mengendalikan ego saya, rasa gengsi untuk berjualan cukup erat mengikat saya dan mengganggu akselerasi gerak saya, maklumlah namanya juga pemula. Karena saya belum punya tempat sendiri maka Al-Qur’an tersebut saya titipkan di toko bapak saya yang kebetulan saat itu sudah dikelola oleh kakak.
Minggu berjalan, bulan berganti bulan, dengan sabar bapak menunggu keteguhan dan keseriusan saya untuk menjalankan usaha itu. Memang hampir setiap bulan saya terus menambah perbendaharaan dagangan saya, namun perbendaharaan keberanian saya belum bertambah sama sekali. 4 bulan kemudian, dengan terpaksa saya harus menghentikan investasi di Al-Qur’an tersebut karena saya harus ambil kredit untuk beli kendaraan. Sebelumnya saya sangat tergantung pada angkutan umum, sedangkan menurut perhitungan saya, ongkos yang saya keluarkan untuk angkutan umum adalah separuh dari jumlah cicilan kredit sepeda motor sekelas Suzuki Shogun 125 cc. Jadi menurut saya jauh lebih menguntungkan kalo ongkos angkutan umum tersebut saya gunakan untuk bayar kredit dengan menambah sedikit lagi. Stagnan dan tak berkembang, itulah yang terjadi pada dagangan saya sejak saat itu.
Tetapi, dalam hati tetap saya simpan angan-angan untuk punya toko buku sendiri. Tidak muluk-muluk (berlebihan) dengan toko yang besar, yang saya butuhkan saat ini adalah kemandirian dan tidak lagi menumpang di tempat kakak yang mungkin sangat mengganggu operasional usahanya. Beberapa bulan kemudian, gayung bersambut, harapan saya menemui titik terang sewaktu seorang teman ingin buka toko buku juga, karena dia punya akses di Penerbit Erlangga. Dan kebetulan juga ada tempat bekas toko material bangunan yang tidak terpakai lagi dan disewakan. Dan kebetulan beruntun karena itu adalah milik seorang teman yang cukup dekat dengan keluarga saya. Subhanallah… siapa sangka jalannya akan dimudahkan seperti ini?
Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dalam bentuk yang sama, mumpung kali ini saya masih cukup sadar untuk menangkapnya, segera saja saya tindak lanjuti. Waktu itu saya tidak punya tabungan sama sekali, dan penghasilan saya tidak cukup memberi jaminan jika saya mengajukan pinjaman bank, saya juga tak punya barang ataupun property apapun untuk diagunkan, saya hanya punya sebuah sepeda motor yang cicilannya baru terbayar 25%, tentu saja tidak dapat diagunkan juga. Tapi Alhamdulillah waktu itu saya punya keyakinan yang besar akan kuasa Allah, bahwa insya Allah saya bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan waktu itu. Dan… keyakinan itu terjawab keesokan harinya, saya ditelpon oleh marketing credit card Bank Danamon yang menawarkan paket Dream Card yaitu kartu kredit yang bisa dipakai untuk pinjaman cash lewat ATM. Aplikasi credit card saya isi hari itu juga dan dalam satu minggu hari kerja kredit saya disetujui. Limit kredit yang keluar tepat sejumlah yang saya butuhkan untuk bayar sewa toko selama 2.5 tahun (sedangkan yang 2.5 tahun sisanya menjadi tanggungan teman saya). Lengkaplah toko itu saya sewa selama 5 tahun dengan berbagi tempat dengan teman saya.
Langkah selanjutnya adalah “saya butuh merenovasi tempat” tidak perlu bagus, cukup agar tak terlihat kumuh seperti toko material bangunan. Kalo saya lihat, lantai perlu diganti karena sudah banyak berlubang, dinding juga sudah menghitam, atap pada bocor, tembok mulai lapuk. Whaa… ternyata masih perlu beberapa juta rupiah lagi, dari mana saya dapat?, sedangkan gajian masih cukup lama dan hanya sebulan sekali. Saya balik ke surabaya mencoba mencari pinjaman lunak dari teman-teman kost, tapi sayangnya sampai akhir minggu saya tidak mendapat pinjaman. Saya pulang lagi dengan tangan kosong, dan sepertinya saya harus menundanya sampai akhir bulan. Begitu sampai depan toko saya sedikit kaget karena ada beberapa orang yang sedang beraktivitas di dalam toko, saya berhenti dan melihat ke dalam. Kebetulan di dalam ada bapak, belum sempat bertanya bapak lebih dulu bercerita bahwa beliau menyimpan beberapa ratus ribu hasil penjualan Al-Qur’an yang belum sempat diberikan kepada saya. Subhanallah, sekali lagi, jawaban langsung dari Allah untuk semua optimisme saya.
Dengan beberapa ratus ribu itu ternyata masih belum cukup, jadi bulan ini saya harus menambah satu lubang lagi yang lebih sempit untuk ikat pinggang saya. Untungnya, tetangga saya jualan bahan material bangunan yang alhamdulillah bisa dipinjam dulu dan dibayar setelah saya gajian.
Akhir April 2005 toko sudah siap pakai, biarpun waktu itu saya tak punya rak buku sama sekali, bapak tetap bersikeras untuk segera membuka toko buku itu. Di toko yang saya sewa tersebut ada 1 buah almari dengan pintu kaca bekas etalase cat kayu, 1 buah etalase kecil bekas paku, dan 1 buah meja kasir dengan pintu berkunci untuk menyimpan uang. Dan kebetulan di toko kakak ada lemari kaca yang tak terpakai, segera saya pindahkan ke toko saya dengan status “pinjaman”, whaaa… semuanya barang pinjaman hehehe. Akan tetapi tempat yang berukuran 5x6 tersebut tampak kosong dengan hanya diisi 2 lemari dengan panjang 2 m, 1 lemari kecil dan sebuah meja. Tapi tak apalah, karena memang ini sudah kondisi maksimal yang bisa saya usahakan untuk saat ini.
Tempat sudah siap, tinggal “apa yang saya perdagangkan?”, saya sudah tak mempunyai uang lebih, sedangkan yang saya pegang hanya cukup untuk makan beberapa hari di surabaya. Al-Qur’an dan beberapa buku bacaan islam dagangan saya sudah tinggal sedikit, tidak cukup banyak untuk memenuhi 1 lemari kecil yang ada di toko. Lagi, sepertinya saya harus menunggu sampai gajian.
Gajian saya tinggal seminggu lagi, toko masih belum saya buka. Bapak dan ibu mulai menanyakan kapan dibuka, saya hanya bisa jawab sekedap maleh (= sebentar lagi). Kali ini saya harus putar otak lagi tentang kemungkinan-kemungkinan terbaik yang bisa saya dapatkan dengan “hampir tanpa modal”, saya katakan demikian karena saya memang tak punya uang sama sekali, tetapi kalo hanya beberapa ratus ribu masih bisa saya usahakan dengan menyisihkan uang gaji saya. Saya mulai mencari siapa saja yang mau menitipkan buku di toko saya dengan system konsinyasi (di awal kuliah saya pernah masuk UKMKI Unair dan berada di divisi pengelola “bursa kafilah”, sedangkan bursa kafilah juga menjual buku dan busana muslim dengan system konsinyasi pula, dari sana saya jadi tahu tentang praktek konsinyasi). Hampir akhir minggu saya belum dapat sedikitpun titik terang, fisik dan mental sudah mulai lelah, pulang kerja sudah tak bergairah. Sesampainya di kost saya buka pagar hendak masuk, tak sengaja di lantai saya lihat ada kertas brosur, dan Subhanallah, brosur itu berisi iklan distributor buku dan VCD islami dan subhanallah lagi tempatnya hanya beberapa gang dari kost saya. Saya tidak berhenti bersyukur, dan saya benar-benar merasa menjadi saksi hidup akan kebesaran-kebesaran Allah. “satu langkah kita mendekati-Nya, 10 langkah Allah mendekati kita”. Keesokan harinya segera saya telpon ke distributor itu, dan ada beberapa syarat kerjasama, diantaranya
1. pembelian dengan nominal diatas satu juta rupiah bisa menjadi sub agen, fasilitas yang diberikan adalah potongan 20% untuk tiap pembelian
2. pembelian dengan nominal diatas 5 juta rupiah untuk bisa menjadi agen, fasilitas yang diberikan adalah potongan 30% untuk tiap pembelian
Tetapi sayangnya tak ada istilah konsinyasi. Ya sudahlah, yang penting saya bisa mengisi toko saya.
Akhir minggu tepatnya hari sabtu gaji saya untuk bulan itu keluar, sepulang kerja saya meluncur ke distributor itu (CMS = Cipta Mandiri Sejahtera), saya beli VCD karya Harun Yahya dan juga beberapa buku bacaan yang nominalnya sampai 1,3 juta rupiah. Habislah gaji saya!. Segera saya bawa pulang barang dagangan saya tersebut dengan perasaan senang dan optimis, bahkan sampai terlupa bahwa dompet saya kemps, mungkin hanya tersisa 100 ribu untuk biaya hidup entah sampai berapa hari.
Sesampainya di toko saya tata serapi mungkin barang dagangan saya. Dan ternyata belum banyak berpengaruh pada isi, masih tetap kosong. Saya masih belum Pe De untuk membuka toko saya. Awal bulan saya balik lagi ke surabaya dan saya pikir saya masih butuh satu bulan lagi untuk buka. Minggu pertama bulan Mei 2005 berlalu, dan saya pulang lagi di akhir minggu, dan lagi… saya cukup terkejut sewaktu lewat depan toko. Toko saya sudah terbuka lebar, memang tampak dari kejauhan masih kosong sama sekali, hanya berisi beberapa lemari kosong dengan seorang bapak yang sudah berumur duduk di dalam toko. Masya Allah, sekali lagi peran bapak begitu besar untuk “mental” saya, mungkin untuk urusan motivasi bukanlah Mario Teguh ataupun Andri Wongso yang paling berperan untuk pembentukan motivasi saya tapi bapaklah yang paling berpengaruh. Beliau memberikan teori-teori motivasi bukan dengan kata-kata tapi langsung dalam bentuk kongkret. Esoknya saya minta tolong sepupu untuk jaga di toko saya dengan kompensasi beberapa ratus ribu rupiah, dan alhamdulillah dia mau.
Begitulah awal pembukaan Pustaka Fithroh yang baru (sewaktu bapak saya masih aktif di tokonya, beliau juga memberi nama Pustaka Fithroh karena beliau selalu menyisipkan buku untuk dijual di toko beliau) ini adalah bentuk reinkarnasi dari Pustaka Fithroh bapak saya.
Bulan berganti bulan saya terus membelanjakan seluruh uang gaji saya untuk menambah koleksi buku di toko saya, dengan ilustrasi seperti ini, total gaji dikurangi kredit sepeda motor dikurangi makan untuk satu minggu pertama dalam bulan berjalan. Setiap akhir minggu saya mengambil uang hasil penjualan di toko untuk kemudian saya bayarkan beberapa rupiah untuk tabungan akhirat dan 100 ribu rupiah untuk operasional saya di surabaya dalam satu minggu, sisanya saya belikan dagangan lagi. Demikian berlangsung sampai berbulan-bulan bahkan sampai melewati hitungan tahun.
Waktu bergulir, saya terus berusaha mengembangkan toko buku itu, saya terus mencari penerbit yang mau menjadi konsinyor untuk toko saya. Dan usaha saya tidak sia-sia, seiring waktu berjalan sudah ada 7 penerbit yang mau mempercayakan bukunya ke toko saya. Memang omzet yang saya tawarkan tak begitu besar karena kesadaran membaca masyarakat sana masih minim, tetapi saya tetap optimis dengan impian saya untuk memiliki toko buku seperti Uranus, Toga Mas, ataupun Gramedia.
Cerita ini hanya untuk berbagi pengalaman, karena orang yang ingin punya usaha sebagian mengalami kesulitan untuk memulainya, baik itu kendala keberanian atau pemasalahan klasik tidak ada modal. Perlu saya tegaskan bahwa modal yang paling berharga dari seorang manusia adalah Kemauan Kuat, Usaha Keras, Optimisme yang wajar, dan Do’a yang Bersungguh-sungguh, adapun modal dan bentuk fisik lainnya adalah hanya kekuatan fisik yang sangat terbatas.
Ikuti perkembangannya di tulisan-tulisan selanjutnya